Senin, Agustus 13, 2007

Hati-hati dengan Tipi!!


KETIKA MASIH DI SD...
Saya inget ketika masih
Sekolah Dasar, saya biasa melewatkan sore hari setelah mandi dengan menonton tipi. Acara favorit saya tentu saja sama seperti anak-anak lainnya, yaitu nonton film kartun. Kartun kesukaan yang hampir tidak pernah saya lewatin adalah He-Man, Kura2 Ninja (yang barusan ada versi layar lebarnya, tapi seandainya saya sekarang masih SD dan nonton film itu, kayanya saya ga akan suka), Transformers (lagi-lagi barusan masuk bioskop, tapi yang ini saya pasti suka, keren euy), dan lain-lain. Orang tua saya tampaknya ga kuatir karena acara yang ditonton pun "kayanya" ga ada pengaruh jelek.
Abis nonton kartun, jadwal saya adalah ke musola dilanjutkan mengaji. Bukannya nyombong nih, kecil-kecil udah
diajarin baca kitab gundul. Saya katakan lagi nih, diajarin ya. Bukannya bisa. Tapi saya lumayan ngerti apa yang disampaikan ustadz karena beliau juga menerjemahkannya ke dalam basa Sunda yang justru kadang-kadang memakai kosakata yang tidak familiar di telinga saya. Saya di musola sampai Isya, dan langsung pulang ke rumah untuk makan malam.

KETIKA SMA
Di sinilah kebencian saya terhadap tipi dimulai. Diawali dengan maraknya sinetron hantu dan religius yang dibungkus mistis (sehingga ada kesan kalo agama itu selalu berhubungan dengan dunia klenik, mistik, ilmu ghaib, metafisika dibanding ngurusin maraknya maksiat). Diteruskan dengan sinetron percintaan remaja yang memang awalnya saya akui lumayan menghibur (kebetulan pas saya lagi puber he..he..). Tapi jadi menjengkelkan dan membosankan karena ceritanya itu-ituuu aja. Apalagi udah mulai ngejiplak serial luar negeri.
Selain itu, acara infotainment yang semakin menggerus tayangan bermutu. Jam tayangnya dari pagi, siang, sore dan malam hari. Bahasannya sama : kawin cerai, percintaan, pamer materi (sirik??hehe), dan ketenaran (lagi-lagi ngiri??). Saya semakin sulit membedakan mana sinetron mana dunia nyata. Semakin komplit deh ... ancurnya.

PRESENT DAY
Kalo ada yang liat kartun TIMUN yang dimuat di harian Kompas edisi Minggu, 12 Agustus 2007, bakal keliatan kalo kartunis pun cukup gerah dengan kondisi persinetronan. Dalam sketasa itu digambarkan ibunya Timun yang protes melihat perubahan yang drastis pada diri anaknya. Sang ibu kuatir melihat Timun yang semakin trendi tapi norak dan kampungan, bersikap berlebih-lebihan dan tidak logis, mengada-ada, serta bergelut dengan dunia khayalan dibanding realita. Akhirnya Timun menjawab kekuatiran ibunya dengan berkata, "Berarti aku udah cocok jadi artis sinetron?!". hehehe..

KEKUATIRAN KAMI
Pada paragraf ini saya akan mengganti kata 'saya' dengan 'kami' sebagai kata ganti saya dan istri. Hal ini terkait dengan lahirnya anak pertama kami dan kami sama-sama kuatir akan pengaruh buruk tipi pada anak kami. Kebetulan kami sama-sama mempunyai keponakan usia TK yang doyan nonton tipi. Hasilnya sungguh luar biasa! Mereka pandai menirukan ucapan dan tindakan bintang-bintang sinetron. Kalimat-kalimat cacian, makian, bahkan ungkapan cinta pun seringkali terlontar. Terlepas siapa yang salah dalam hal ini, kami sepakat bahwa tipi-lah yang menjadikannya seperti itu. Lho, kenapa ortunya ga ngawasin? Saya kan udah bilang, terlepas siapa yang salah, saya dan istri udah sepakat kalo tipi-lah sang tertuduh.

SOLUSI
Itulah masalahnya. Kami belum menemukan solusi yang pas. Opsinya selalu memilih antara menyediakan tipi plus pengawasan ketat, karena kami juga butuh tipi, atau mengenyahkan tipi. Tapi dengan seiring berjalannya waktu, kami mulai menemukan solusi dan mempelajari solusi yang lumayan bagus. Ya, itulah. Kami sepakat lebih fokus menemani anak bermain daripada menemani mereka menonton tipi...

HATI-HATI DENGAN TIPI

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Oki beki J-co oge? Pajarkeun teu boga tipi :p